Adakah Riba yang Halal?
Katanya di surat ar-Rum dinyatakan bahwa ada riba itu tidak dilarang. Apa benar? krn di ayat itu, tidak disebutkan ancaman maupun larangan apapun. Mohon pencerahannya!
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Allah berfirman,
وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. ar-Rum: 39).
Al-Qurthubi membawakan beberapa penjelasan dari para ulama tafsir untuk ayat ini. Kita simak penjelasan mereka,
Pertama, keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menjelaskan,
“وما آتيتم من ربا” يريد هدية الرجل الشيء يرجو أن يثاب أفضل منه، فذلك الذي لا يربو عند الله ولا يؤجر صاحبه ولكن لا إثم عليه
Kaos Distro – “Riba yang kalian berikan” maksudnya adalah terkait orang yang memberikan hadiah sesuatu kepada orang lain, dengan mengharapkan ganti yang lebih baik. Pemberian semacam ini tidak akan berkembang di sisi Allah, orangnya tidak mendapat pahala. Meskipun dia juga tidak mendapat dosa.
Keterangan lain disampaikan Ikrimah. Beliau mengatakan,
الربا ربوان، ربا حلال وربا حرام، فأما الربا الحلال فهو الذي يهدى، يلتمس ما هو أفضل منه
Riba itu ada 2: riba halal dan riba haram. Riba halal adalah orang yang menghadiahkan sesuatu kepada orang lain, dengan harapan akan diganti yang lebih baik dari apa yang dia berikan.
Keterangan lain juga disampaikan ad-Dhahak,
هو الربا الحلال الذي يهدى ليثاب ما هو أفضل منه، لا له ولا عليه، ليس له فيه أجر وليس عليه فيه إثم
Itulah riba yang halal, yaitu orang yang memberi hadiah dengan maksud untuk mendapatkan bayaran yang lebih banyak. Tidak ada kelebihan untuknya dan tidak ada yang salah darinya. Artinya, tidak ada pahala untuknya dan tidak ada dosa darinya.
Al-Qurthubi menyimpulkan,
قال ابن عباس وابن جبير وطاوس ومجاهد: هذه آية نزلت في هبة الثواب
“Ibnu Abbas, Ibnu Jubair, Thawus, dan Mujahid mengatakan, ayat ini turun terkait hibah tsawab.” (Tafsir al-Qurthubi, 14/36)
Itulah hibah tsawab, seseorang memberi dengan maksud agar yang diberi memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang dia berikan.
Ulama berbeda pendapat dalam memahami hibah tsawab.
Pertama, hibah tsawab hakekatnya jual beli. sehingga hukum yang berlaku di dalamnya, mengikuti hukum jual beli. Karena mengikuti hukum jual beli maka harus
[1] Disyaratkan dalam akad
[2] Ukuran kuantitasnya jelas.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama, Hanafiyah, Malikiyah, Hambali, dan Syafiiyah menurut pendapat yang lebih terkenal.
Karena statusnya transaksi jual beli, maka di sana ada hak khiyar, hak mengembalikan karena aib, dan jika sudah terjadi serah terima (taqabudh) maka tidak bisa dibatalkan.
Kedua, bahwa hibah tsawab bukan jual beli, tapi hibah. Sebagaimana namanya. Dan tidak bisa diubah menjadi jual beli melihat namanya, sementara jual beli bertentangan dengan hibah. Untuk hibah, sifatnya murni sosial. Ini adalah pendapat sebagian Syafiiyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Karena ini tergolong hibah maka tidak boleh meminta ganti atau kembalian dari penerima.
Dan pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat jumhur ulama. Dengan pertimbangan,
[1] Maksud dari transaksi ini bukan sebatas hibah. Karena pihak yang memberi (wahib) mensyaratkan adanya ganti dari orang yang mendapat hibah. Sementara transaksi dinilai dari hakekat dan konsekuensinya dan bukan semata dari namanya.
[2] Dinyatakan dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,
الوَاهِبُ أَحَقُّ بِـهِبَتِهِ مَا لَـمْ يُثَبْ عَلَيهَا
Orang yang memberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya, selama tidak diberi balasan untuk hibahnya. (HR. Ibnu Majah 2477 namun hadis ini didhaifkan para ulama karena ada perawi yang bernama Ibrahim bin Ismail. Sementara Amr bin Dinar dengan Abu Hurairah, munqathi’. Demikian keterangan al-Kinani dalam Misbah az-Zujajah. (2/236)
Hanya saja, dinyatakan al-Baihaqi dalam al-Kubro (no. 12383), bahwa ada riwayat yang lebih diterima (mahfudz) dari Umar bin Khatab secara mauquf,
مَنْ وَهَبَ هِبَةً فَلَمْ يُثَبْ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ إِلاَّ لِذِى رَحِمٍ
Siapa yang menghibahkan sesuatu kemudian tidak dibalas, maka dia lebih berhak terhadap hibahnya. Kecuali hibah untuk kelurga.
Al-Baihaqi menyebutkan komentar al-Bukhari yang menyatakan, “Ini lebih shahih”
Hadis ini juga disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Talkhis al-Habir (3/171).
Dengan demikian, penyebutan riba halal seperti yang dinyatakan Ikrimah hanyalah istilah. Karena hakekatnya bukan riba. Tapi pemberian dengan maksud bisa mendapatkan imbalan lebih banyak. Dan itu hukumnya seperti jual beli.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com dan Konsultasisyariah.com)
Post A Comment:
0 comments: